Rasulullah menegaskan,“Barang siapa mempunyai kemampuan, namun ia tidak (mau) berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekat ke mushalla kami.”
(Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2532 dan Ibnu Majah II: 1044 no: 3132).
Ucapan Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam pada hadits di atas sangat jelas, tegas terucap pemutusan hubungan antara beliau dengan orang yang mampu namun tidak mau berkurban.
Dalam kitab As-Sailul Jarrar disebutkan:Wajhul istidlal (arah pengambilan dalil) dengan hadits di atas, yaitu bahwa tatkala Nabi saw. melarang orang yang mampu berkurban mendekat ke mushalla bila ia tidak mau berkurban, hal tersebut menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan suatu kewajiban. Maka, seolah-olah sama sekali tak ada faedahnya bagi seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan mengerjakan shalat namun meninggalkan kewajiban ini.
Hal ini menegaskan bahwa tidak ada pemisahan dalam beribadah, harus menyeluruh, tidak meninggalkan sebagian dan mengambil separuhnya saja. Belajar dari bapak para Nabi, bacalah Qur’an Surat As-Shaffat ayat 100-109 yang menjelaskan hal tersebut.
Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh. Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.. Sungguh Kami memberi balaasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini merupakan suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”
Itulah Ibrahim dan Ismail; “Sami’na wa atha’na!”: dengar lalu taati. Generasi pilihan, generasi para Nabi dan Rasul.
Kisah sebelumnya telah dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Maidah [5] ayat 27, "Ceritakanlah kepada mereka kisah tentang dua anak Adam (Habil dan Qabil) dengan benar tatkala mereka (masing-masing) berkurban satu kurban, lalu diterima dari seorang di antara mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lainnya (Qabil). Ia berkata (Qabil), 'Aku pasti membunuhmu!' Berkata Habil, 'Sesungguhnya Allah hanyalah menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa."
Berkurbanlah seperti Nabi Ibrahim, luruskan niat untuk Allah semata, bukan jutaan rupiah dan harta benda melainkan nyawa anak tercinta sebagai bukti untuk-Nya. Berikan yang terbaik seperti Habil bukan menyembunyikan yang terbaik seperti Qabil dan memberikan yang buruk.
Berebutlah yang terbaik seperti Abu Bakar dan Umar, bukan dalam perkara kurban malah, melainkan mereka berebut dalam berbuat baik seperti infaq.
Rasulullah bertanya kepada Umar, “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu? Umar berkata, Aku tinggalkan separuh dari seluruh hartaku.” Lalu Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu” Dan Abu Bakar menjawab, “Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya.”
Lalu bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berkurban yang hanya dalam waktu satu tahun sekali? Bukankah kita mampu? Padahal para Nabi, Rasul dan Para sahabat berjual beli dengan Allah tak hanya harta, namun jiwa dan raganya!
Hadits dari Zaid ibn Arqam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Kurban adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Ahmad dan ibn Majah)